Oleh : Ummu Syam (Aktivis Muslimah Majalengka)
(Diterbitkan di laman website Cendekia Pos - https://cendekiapos.com/.../meraih-kemerdekaan-hakiki-8683)
29 November diresmikan sebagai hari solidaritas bersama masyarakat Palestina. Hari ini semakin mengingatkan kita bahwa pendudukan di Palestina belum berakhir.
Kekejaman Yahudi yang terbentuk dalam kekuatan negara, militer dan lembaga-lembaga sosial, membuat tidak sedikit dari kalangan umat Islam menyuarakan dan mengupayakan kemerdekaan bagi bangsa Palestina. Sebut saja di antaranya adalah Palestine Liberation Organization (PLO) yang dipimpin oleh Yasser Arafat dan OKI (Organisasi Kerjasama Islam).
Berbicara mengenai kemerdekaan memang sangat menarik. Hal inilah yang menjadi cita-cita setiap bangsa, cita-cita yang mampu membakar gelora semangat pembebasan dari penindasan kaum penjajah.
Jika melihat sejarah, abad dua puluh memang dipersiapkan oleh bangsa-bangsa kolonial Eropa untuk memberikan kemerdekaan kepada negara-negara jajahannya. Pada tahun 1939 Inggris, Prancis dan Belanda bersepakat untuk secara perlahan-lahan membiarkan negara-negara jajahannya untuk menentukan nasibnya sendiri. Komitmen ini kemudian ditindaklanjuti dengan pemberian mandat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas wilayah-wilayah bekas kekuasaan Daulah Khilafah Utsmaniyah dan Jerman kepada mereka.
Sebenarnya, di balik pemberian kemerdekaan tersebut tersimpan rencana jahat yang dirancang oleh bangsa-bangsa kolonial Eropa. Rencana jahat tersebut bertujuan untuk melanggengkan penjajahan mereka melalui sistem yang diterapkan di negara-negara bekas jajahan mereka.
Sistem itu adalah sistem Demokrasi. Melalui penerapan sistem inilah walaupun negara-negara bekas jajahan mereka sudah merdeka dari penjajahan fisik, namun kolonialisme bangsa-bangsa Eropa tetap ada melalui sistem tersebut. Sistem tersebutlah yang sudah membentuk penjajahan gaya baru yaitu penjajahan budaya, ekonomi dan politik. Penjajahan inilah yang justru lebih berbahaya daripada penjajahan fisik, yang artinya bangsa-bangsa yang sudah "merdeka" dari penjajahan tersebut harus menelan pil pahit bahwa penjajahan bangsa Barat itu masih ada, mengakar dan menggurita meskipun dalam bentuk yang berbeda. Menjadikan makna "kemerdekaan" hanya menjadi slogan belaka.
Maka, dalam melakukan upaya untuk kemerdekaan Palestina, makna dan perasaan deklarasi kemerdekaan bagi bangsa Palestina harus jelas. Apakah kemerdekaan itu hanya dalam bentuk kemerdekaan dari penjajahan fisik atau juga kemerdekaan dari penjajahan yang bersifat non-fisik (budaya, ekonomi dan politik)?
Jangan sampai cita-cita umat Islam untuk kemerdekaan bagi bangsa Palestina sama seperti yang dicita-citakan oleh Muhammad Ali Jinnah, sang arsitek kemerdekaan bangsa Pakistan.
"Bahwa wilayah yang secara geografis bersebelahan dan disekat-sekat dalam berbagai daerah harus diatur dengan sebuah aturan teritorial tertentu, dimana wilayah yang mayoritas dihuni oleh kaum Muslim.... Harus dikelompokkan ke dalam "Negara Merdeka" yang mempunyai otonomi kedaulatan."
Dengan kata lain Muhammad Ali Jinnah menginginkan "sebuah negeri khusus bagi kaum muslimin", tetapi ia tidak memiliki pemikiran atau pendapat tentang sebuah perbaikan sistem. Padahal, sistem yang diterapkanlah yang sudah melanggengkan kolonialisme Barat di negeri-negeri muslim.
Maka, sudah semestinya merdeka dari belenggu penjajahan baik secara fisik maupun non fisik menjadi tujuan politik umat Islam. Sehingga makna "kemerdekaan" tidak menipu dan membelokkan umat Islam dari kebangkitan.
Pertanyaannya, dengan cara apa umat Islam bangkit sehingga mampu meraih kemerdekaan yang hakiki, yaitu merdeka dari penjajahan fisik dan non-fisik?
Islam adalah seperangkat aturan yang lengkap, karenanya Islam bukan hanya agama melainkan juga mabda (ideologi). Dengan kekuatan ideologis itulah umat Islam bangkit. Melakukan revolusi ideologi dengan menenggelamkan ideologi-ideologi rusak yang digunakan untuk melakukan penjajahan terhadap negeri-negeri muslim dan menggantinya dengan ideologi Islam.
Sama halnya ketika Amerika Serikat mampu meraih kemerdekaannya dari penjajahan Inggris dengan menggunakan kekuatan ideologis. Dimana para pemikir dan intelektual mereka bersungguh-sungguh untuk menyusun sebuah sistem yang bebas dari fanatisme agama dan sosial sebagaimana yang terjadi di Eropa kala itu. Mereka bekerja keras untuk mendirikan sebuah negara yang sangat sekuler, dimana ekonomi kapital menjadi ciri khas dalam menjalankan roda pemerintahan.
Maka, sudah saatnya umat Islam mencampakkan makna kemerdekaan yang semu, melupakan sekat-sekat kebangsaan mereka, berhenti untuk memuji-memuji tokoh kemerdekaan. Memang penting untuk menyuarakan kemerdekaan bagi bangsa Palestina tapi lebih penting lagi untuk menyuarakan Islam sebagai pandangan hidup yang sempurna, menjadikannya satu-satunya ideologi yang layak untuk memimpin dunia ini melalui tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah. Yang tidak hanya akan membebaskan Palestina dari penjajahan fisik namun juga membebaskan negeri-negeri muslim yang sudah "merdeka" dari penjajahan yang bersifat non-fisik.
Wallahu 'alam bish-shawab.
