Oleh : Ummu Syam
"Haram minta-minta! Jangan sering minta-minta di masjid ini dan dan di tempat lain! Lihat wajah kamu, jelek, pakai hijab, mengemis lagi! Apa kata orang-orang, hah? Nanti orang-orang bilang, Islam kayak monster dan sampah! Kayak kamu!"
Mendengar hal itu Fahri tidak diam.
"Brother tolong jaga lisan Anda! Jika tidak bisa berkata yang baik, lebih baik diam!"
"Jadi kamu membela pengemis ini? Kamu setuju umat Islam mengemis, hah?! Apa kamu tidak pernah belajar hadits? Tidak pernah mendengar Rasulullah saw melarang umatnya meminta-minta? Melarang umatnya jadi pengemis?". Jamaah yang tampaknya dari salah satu negara Arab itu naik pitam ditegur Fahri, dan langsung memberondong Fahri dengan ceramahnya.
"Brother, Anda jangan salah paham. Saya sepakat dengan Anda bahwa umat Islam tidak boleh mengemis. Itu yang diajarkan Baginda Nabi. Saya hanya tidak setuju dengan ucapan kasar Anda kepada sister kita ini. Anda tidak boleh mencela fisiknya, tidak boleh menghina wajahnya! Sama sekali tidak benar!"
"Kita tidak cukup hanya melarang saudara-saudara kita mengemis. Kita semua umat Islam, bertanggung jawab atas nasib mereka. Kita harus introspeksi, sudah genapkah zakat kita? Ada hak mereka dalam harta kita. Apakah kita yang nasibnya lebih baik telah membuat program riil untuk perbaikan nasib mereka? Di mana kita letakkan hadits Nabi, man lâ yahtam bi amril Muslimîn fa laisa minhum. Siapa yang tidak peduli pada urusan kaum muslimin maka tidak termasuk golongan mereka?"
"Di mana hadits itu kita letakkan ketika melihat sister kita ini menderita hingga meminta-minta, lalu kita tidak peduli, dan malah menghardik dan membentakya? Masih beruntung dalam dia masih teguh memakai jilbab, artinya masih teguh memegang Islam. Masih beruntung dia minta-minta di halaman masjid, artinya minta kepada keluarganya sendiri. Bagaimana kalau dia memintai-minta di pintu gerbang gereja, lalu masuk gereja dan menanggalkan jilbabnya? Itukah yang Anda inginkan?"
Lelaki yang tadinya naik pitam itu diam dan merenungi kata-kata yang baru saja diucapkan Fahri. Dia insaf, tindakannya tidak benar.
"Astagfirullah. Saya salah. Maafkan saya"
"Lebih tepat kalau minta maaf kepada sister itu, bukan saya. Kata-kata Anda yang menghina dia, mungkin telah melukai hatinya".
Lelaki itu mengambil sepuluh Euro dan memberikan kepada perempuan bermuka agak buruk dan berjilbab hitaam itu.
"Maafkan ketajaman lisan saya, sister. Maafkan"
_____
Rasulullah Saw bersabda,
''Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam urusan kasih sayang dan tolong menolong adalah seperti satu tubuh, bila ada salah satu anggota tubuh mengaduh kesakitan, maka anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakannya, yaitu dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.'' (HR. Bukhari dan Muslim).
Sebuah hadis yang sarat akan makna yang dalam, yang menggambarkan persaudaraan yang kuat dalam ikatan akidah Islam. Karena begitulah, ikatan akidah Islam telah melampui batas-batas perbedaan bahasa, kebangsaan, ras dan kasta.
Namun, sayangnya dewasa ini seluruh kaum muslimin terpecah belah karena disekat-sekat dengan sekat kebangsaan yang membuat mereka acuh terhadap nasib saudara-saudara seimannya. Hal ini dikarenakan semakin jauhnya kaum muslimin dari pemahaman agama Islam yang benar dan kaffah.
Mungkin hal tersebutlah yang membuat teman saya sewaktu SMK bertanya, "Di Gaza itu ada apa sih?". Saya begitu kaget sekaligus miris mendengar pertanyaan teman saya itu. Ternyata benar adanya, persatuan kaum muslimin sudah terpecah belah. Hal tersebutlah yang membuat kaum muslimin lemah di hadapan musuh kemudian kalah.
Seperti halnya di Palestina. Dimana faksi-faksi yang ada di Palestina tidak juga bersatu. Padahal musuh mereka jelas ada di depan mata. Setiap hari ada saja korban yang menderita akibat ulah zionis Israel. Anak kecil yang ditembak, rumah yang digusur, perempuan yang dipukul pakai laras senjata, tahanan yang mati dalam penyiksaan, dan lain sebagainya. Namun penderitaan yang pedih itu tidak membuat faksi-faksi yang ada di Palestina bersatu padu melawan musuh bersama mereka.
Bahkan dunia Arab pun retak bahkan nyaris pecah. Al-qur'an dan hadis mereka hafal, tapi persatuan sepertinya telah mereka jadikan musuh. Mereka seperti kembali ke zaman jahiliyyah, ketika suku-suku dan kabilah-kabilah tidak bisa bersatu. Apalah gunanya Al-qur'an dihafal, hadits di-takhrij sampai detail mengetahui shahih-dhaif-nya, tapi ruh dan jiwa itu tidak dihayati dan diamalkan?
Fahri jadi teringat, saat dulu pernah berdialog dengan seorang syaikh yang juga guru besar Ilmu Ushul Fiqih sebuah universitas terkemuka di kawasan teluk. Ketika itu, Syaikh tersebut diundang memberikan ceramah di masjid Freiburgh, Jerman. Sang syaikh menyampaikan masalah-masalah sosial yang dihadapi dunia Islam kontemporer. Seorang jamaah berwajah Arab dengan sangat menggebu-gebu memberikan tanggapan apa yang disampaikan syaikh, dan dengan sangat simpel ia mengatakan, ''Semua itu solusinya adalah dengan menegakkan Khilafah.''
Sang syaikh hanya tersenyum dan berkata, "Tanpa bermaksud meremehkan apa yang engkau katakan, tolong renungkan baik-baik! Bagaimana kalian akan menegakkan Khilafah, sedangkan kalian menyatukan hari raya Idul Fitri saja tidak bisa!"
Kata-kata syaikh itu tampak sederhana namun mengandung fiqh realitas dan fiqh sosial yang dalam dan luas.
"Kalian menyatukan hari raya Idul Fitri saja tidak bisa!".
Padahal Idul Fitri itu terjadi setelah umat ini digembleng selama satu bulan penuh pada bulan Ramadhan. Digembleng lahir dan batin. Digembleng untuk bersatu. Shalat jamaah bersama, buka puasa bersama, tarawih bersama, iktikaf bersama. Alangkah indahnya. Namun, begitu selesai Ramadhan untuk syiar bersama dalam hari raya bersama ternyata gagal.
"Kalian menyatukan hari raya Idul Fitri saja tidak bisa!"
Puasa adalah ibadah yang paling dijauhkan dari riya' (ingin dilihat orang). Hanya Allah yang tahu. Semestinya keluar dari Ramadhan, semua yang puasa rendah diri, tawadhu', mudah bertemu hati dengan saudaranya, mudah mengalah demi saudara. Namun yang terjadi justru seringkali ego untuk merasa lebih benar dan lebih tepat membaca dalil yang dimajukan. Maka persatuan yang utuh dalam Hari Raya yang paling fitri itu gagal tercipta.
"Kalian menyatukan hari raya Idul Fitri saja tidak bisa!"
Ketika hari raya Idul Fitri gagal bersatu, lalu muncul ungkapan yang dibijak-bijakkan dan saling menghibur, ''Hormatilah perbedaan, dalam perbedaan pendapat itu ada rahmat''. Menurutnya, itu adalah kalimat yang tidak pada tempatnya. Seorang faqih sejati harus mengerti pada titik mana persatuan diutamakan. Seorang faqih sejati harus tahu, ada kala pendapatnya harus rela ia tinggalkan dan ia ikuti pendapat yang lain demi persatuan umat.
"Kalian menyatukan hari raya Idul Fitri saja tidak bisa!"
Apakah mereka lupa tujuan utama, atau maqashidusy syari'ah (tujuan utama syariat) adanya Idul Fitri dan Idul Adha? Adalah agar umat ini kokoh persatuannya. Agar umat ini bergembira, optimis, dan kokoh persatuan jiwa dan raganya. Takbir menggema berwibawa tanpa ada 'ghil', tanpa asa ganjalan perbedaan dalam hati. Persatuan sejati, luar dalam, lahir batin, itu fiqih maqashid-nya.
Kenapa para ulama, pakar fiqih, dan cerdik-cendekia Muslim itu tidak menjadikan ijtihad sebagai upaya untuk menyatukan umat? Kenapa lebih sering memakai ijtihad (menggali hukum) untuk membela ego kubu kelompoknya?
"Kalian menyatukan hari raya Idul Fitri saja tidak bisa!"
Jika menyatukan Idul Fitri saja tidak bisa, bagaimana mau menciptakan persatuan ekonomi, persatuan politik dan lain sebagainya yang lebih luas?
Nampaknya masih ingat dalam ingatan kita pada sosok Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu' anhu, seorang sahabat Nabi saw yang juga seorang faqih sejati. Dalam hadits, semua riwayat menjelaskan bahwa ketika Rasulullah Saw melaksanakan ibadah haji, beliau shalat di Mina dengan meng-qashar shalat Dzuhur dan Ashar menjadi dua rakaat. Itulah yang diikuti Abu Bakar dan Umar radhiyallahu' anhuma. Imam Abu Daud meriwayatkan, bahwa Utsman bin 'Affan Ra shalat di Mina empat rakaat.
Artinya tidak seperti Rasulullah Saw, Abu Bakar dan Umar. Ketika kabar itu sampai kepada Abdullah bin Mas'ud, seketika beliau mengingkari apa yang dilakukan Utsman tersebut seraya berkata, ''Aku shalat di belakang Rasulullah Saw, serta di belakang Abu Bakar dan Umar (mereka semua meng-qashar menjadi dua rakaat), lalu muncul di zaman Khalifah Utsman disempurnakan jadi empat rakaat (di Mina). Sehingga kalian terpecah belah. Sungguh aku berharap diterimanya rakaat dari empat rakaat yang aku lakukan bersama Utsman''. Setelah itu, Abdullah bin Mas'ud shalat empat rakaat di belakang Utsman. Beliau diprotes, ''Anda mengkritik Utsman, sedangkan anda sendiri tetap shalat empat rakaat (makmum di belakang Utsman)?''. Ibnu Mas'ud menjawab, ''Perselisihan itu buruk!''
Aduhai, di manakah pakar-pakar fikih, ulama pemimpin umat yang bisa lapang dada seperti Abdullah bin Mas'ud sekarang ini?
Betapa besar jiwa Abdullah bin Mas'ud ra. Ia tahu persis dalilnya. Ia tahu persis bahwa Rasulullah, Abu Bakar dan Umar shalat dua rakaat di Mina. Namun ketika Utsman yang jadi imam saat itu shalat dengan menyempurnakan empat rakaat ia tetap ikut sang imam. Perselisihan dan perpecahan tidak boleh terjadi. Persatuan harus dijaga.
Bisa saja Ibnu Mas'ud adu dalil dengan Utsman. Dan kemungkinan besar dia menang secara dalil. Tetapi saat itu imamnya adalah Utsman bin Affan Ra, salah satu dari khulafaur rasyidin yang harus dihormati, yang kebersihan jiwanya dalam memperjuangkan Islam tidak diragukan. Dan, jika Ibnu Mas'ud mengedepankan egonya karena menang dalil, ia berarti keluar dari barisan imam. Dan itu akan memprovokasi yang lain juga keluar dari barisan imam. Umat akan terbelah dalam dua kubu. Dan perpecahan otomatis akan tercipta. Dan Abdullah bin Mas'ud Ra tidak mau itu terjadi. Ia lebih memilih tidak memakai dalil yang sangat kuat dalam keyakinannya demi persatuan umat.
Persatuan umat adalah maslahat besar yang harus dijaga seluruh individu umat. Itulah pemahaman generasi terbaik umat ini. Mereka telah menorehkan keteladanan dengan tinta emas bagaimana menyikapi perbedaan yang akan menyebabkan retaknya persatuan. Mereka sangat memahami faqhul maqashid bukan sekedar paham dalil ini kuat dan itu tidak kuat.
Karena itulah, menegakkan Khilafah memanglah pekerjaan yang berat dan panjang, hanya Allah yang tahu kapan Khilafah akan tegak. Yang pasti adalah bahwa Khilafah akan tegak jika persatuan kaum muslimin sudah terbentuk yang dengan bersamaan itu pula terbentuk ra'yul 'am (kesadaran umum) dan mu'yul 'am (kecenderungan umum) kepada Islam yang kemudian selanjutnya adalah terbentuknya urf 'am (kebiasaan umum) yang ditandai dengan tegaknya Khilafah.
Bagaimana urf 'am (Khilafah) ini akan tegak? Yaitu dengan dakwah Islam dan amar ma'ruf nahi mungkar (menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran). Utamanya menyembuhkan umat dari penyakit Sipilis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme) yang menjadi senjata bagi orang-orang kafir dan kaum munafik untuk menghancurkan kaum muslimin. Tidak hanya itu, kaum muslimin pun harus menyadari akan rencana jahat orang-orang kafir dalam mensekat-sekat kaum muslimin ke dalam beberapa kelompok yaitu kelompok fundamentalis, kelompok tradisionalis, kelompok liberal dan kelompok modernis. Pensekatan itulah yang telah membuat kaum muslimin mudah diadu domba sehingga sulit untuk bersatu.
Wallahu a'lam bish-shawab.
_____
Sumber :
- Novel "Ayat-Ayat Cinta 2" Karya Habiburrahman El-Shirazy (dengan beberapa penambahan).
- Makar orang-orang kafir dan pengelompokkan umat Islam bisa dibaca di sini.