Oleh : Ummu Syam (Aktivis Dakwah)
(Diterbitkan di fanspage Suara Muslimah Kota Wali - https://m.facebook.com/suaramuslimahkotawali/photos/propaganda-barat-menghancurkan-generasioleh-ummu-syamsuaramuslimahkotawali_-my-f/1565393620257784/) “My father is a woman”. Mungkin itulah ungkapan yang pas untuk menggambarkan ekspresi keluarga Kardashian dan Jenner ketika mereka harus menerima sebuah kenyataan bahwa ayah mereka, Bruce Jenner memutuskan untuk menjadi seorang transgender. Di Barat menjadi seorang transgender adalah hal yang lumrah. Bahkan tidak hanya transgender, perilaku seks menyimpang lainnya seperti lesbian, gay, dan biseksual juga dilegalkan dengan dalih hak asasi manusia (HAM).
Di Indonesia? Untuk sebuah ukuran negara yang masih menganut tradisi ketimuran, LGBT mungkin masih dianggap tabu di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Namun, eksistensi kaum sodom ini kian terasa. Sebut saja Dorce Gamalama, Solena Caniago, dan Dena Rachman adalah sederet public figure yang tak malu-malu lagi berbicara di tv mengenai perjuangan mereka untuk menjadi seorang transgender.
LGBT atau yang biasa kita kenal dengan lesbian, gay, biseksual, dan transgender adalah perilaku yang menyimpang terhadap hukum dan norma yang berlaku di masyarakat. Penyakit LGBT ini juga biasa dikenal dengan penyakitnya kaum Nabi Luth as, karena Nabi Luth as diperintahkan oleh Allah SWT untuk menghentikan penyimpangan perilaku tersebut yang notabene dilakukan oleh Kaum Sodom (Lihat QS. Al-A'raf (7) : 80-83). Namun sayang, hukum perundang-undangan di negeri ini nyatanya tidak mampu untuk menjerat para pelaku penyimpangan ini. Para pelaku penyimpangan ini justru terkesan dilindungi oleh negara terbukti dengan pengadilan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan perluasan makna (Judicial Review) pasal-pasal asusila dalam undang-undang KUHP yaitu pasal 284, 285, 289 yang diprakarsai oleh guru besar IPB, Prof. Euis Sunarti dan ibu-ibu peduli generasi pada kamis (14/12/2017) lalu. Tidak cukup hanya itu, aktivitas menyimpang ini juga didanai oleh beberapa organisasi dunia seperti United Nations (PBB), UNDP, dan UNVA.
Walaupun hanya menduduki 7% dari jumlah penduduk Indonesia, namun dengan gerakan yang masif, kampanye besar-besaran dan dukungan dari dunia internasional gerakan ini bisa menjadi gerakan yang besar. Seperti contohnya UNDP (United Nations Development Programme) yang telah menggelontorkan dana sebesar 8 juta Dollar AS atau sekitar Rp. 107.9 miliar untuk kampanye bertajuk "Being LGBT in Asia" yang menargetkan 4 negara Asia yaitu China, Filipina, Thailand dan Indonesia. Tidak hanya itu, United Nations melalui WHO (World Health Organization) telah menghapus LGBT dari daftar penyakit mental (Diagnosis and Statiscal Manual of Mental Disorders). Mereka menyebut, LGBT adalah perilaku normal bukan kelainan mental. Bahkan sebagai wujud pengakuan terhadap eksistensi kaum LGBT, kini telah ditetapkan Hari Gay sedunia dan ada 14 negara yang membolehkan pernikahan sejenis, dan hanya tiga negara yang menganggap LGBT sebagai tindakan kriminal (dua di antaranya Singapura dan Rusia). (Republika, 12/2/2016).
Tidak salah lagi, bahwa LGBT bukan hanya sebuah penyakit kelainan mental atau perilaku yang menyimpang namun sudah menjadi agenda dunia Barat untuk menghancurkan generasi Islam terlebih Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Penghancuran tidak hanya dari segi moralitas namun juga dari segi pertumbuhan penduduk. Dengan LGBT, ditargetkan tidak ada banyak generasi yang lahir dari kalangan muslim sehingga angka kelahiran pun dapat menurun drastis. Selain merusak tatanan keluarga, mendurhakai/meniadakan profesi seorang ibu, dan menghilangkan generasi, dampak dari LGBT ini juga dirasakan dalam segi sosial.
Penelitian yang dilakukan Cancer Research di Inggris, mendapatkan sebuah hasil bahwa homoseksual lebih rentan terkena kanker. Penelitian yang dilakukan selama tahun 2001, 2003 dan 2005, menghasilkan kesimpulan bahwa gay dapat dua kali lebih tinggi terkena risiko kanker apabila dibandingkan pria heteroseksual (normal).
Selain kanker yakni kanker anus dan mulut, para pelaku LGBT rentan terhadap penyakit meningitis, dan HIV/AIDS. Data dari CDC (Centers for Disease Control and Prevention) AS pada tahun 2010 menunjukkan dari 50 ribu infeksi HIV baru, dua pertiganya adalah gay-MSM (Male Sex Male/laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki). Data pada tahun 2010 ini, jika dibandingkan dengan data tahun 2008 menunjukkan peningkatan 20 persen. Sementara itu, wanita transgender risiko terinfeksi HIV 34 kali lebih tinggi dibanding wanita biasa. (Republika, 12/2/2016). Lebih lanjut data CDC, pada tahun 2013 di Amerika Serikat, dari screening gay (pemeriksaan terhadap kaum gay), yang berusia 13 tahun ke atas, 81 persen di antaranya telah terinfeksi HIV dan 55 persen di antaranya terdiagnosis AIDS.
Di Indonesia sendiri, penularan HIV juga meningkat signifikan, dari 6 persen pada tahun 2008, naik menjadi 8 persen di tahun 2010, kemudian menjadi 12 persen di tahun 2014. Sedang jumlah penderita HIV di kalangan PSK cenderung stabil antara 8 persen sampai dengan 9 persen. (Republika, 12/2/2016)
Akibatnya, biaya sosial semakin tinggi. Bayangkan, berapa biaya yang harus digelontorkan oleh negara untuk penanggulangan penyakit seksual menular ini, terutama penyakit yang mematikan yakni HIV/AIDS? Sedangkan, sumber dari penyakit menular ini tidak diberantas justru dilanggengkan dengan dalih HAM.
Legalisasi LGBT melalui Mahkamah Konstitusi adalah cara praktis untuk melanggengkan sekulerisme-liberalisme di negeri ini. Masyarakat terutama ibu generasi seakan-akan digiring menuju kegalauan yang mencekam. LGBT nyatanya telah menjadi momok yang menakutkan bagi para ibu generasi, jika dahulu mereka harus ekstra menjaga anak perempuan kini mereka harus ekstra menjaga anak-anak mereka baik anak laki-laki maupun anak perempuan dari virus pelangi. Masyarakat terutama ibu generasi seakan-akan tidak memiliki tameng yang lebih kuat untuk melindungi anak-anak mereka. Pembekalan agama saja tidak cukup jika negara justru tidak melindungi masyarakatnya dari segala macam ancaman.
Padahal, di dalam Islam semua kegiatan di luar pernikahan yang berkaitan dengan naluri seksual adalah ilegal dan menyimpang. Semua itu juga menjadi ancaman terhadap keberadaan umat manusia dengan segala martabat dan kemanusiaanya. Bahkan dalam nash khusus, Rasulullah saw bersabda,
"Dilaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Nabi Luth as (homoseksual)" (HR. Tirmidzi dan Ahmad dari Ibnu Abbas).
Islam telah mengajarkan cara untuk menyalurkan hasrat seksual yaitu dengan pernikahan syar'i. Islam justru melaknat aktivitas LGBT sebagai bentuk penyimpangan dan merupakan perilaku dosa. Karena itu ide LGBT tidak bisa dilindungi oleh negara dengan alasan apapun justru negara akan memberikan sanksi atas segala bentuk penyimpangan sebagai upaya untuk menghentikan perbuatan keji tersebut.
Wallahu a'lam bishshawab.