Memiliki Anak, Berkat atau Beban?

By Label: -

Oleh : Ummu Syam (Aktivis Muslimah Cibarusah)
(Diterbitkan di laman website Bedanews - https://bedanews.com/memiliki-anak-berkat-atau-beban/)
 
Dewasa ini semakin banyak perempuan Indonesia yang berani menyuarakan keinginannya untuk tidak memiliki anak. Dengan berbagai macam alasannya, mereka sepakat pada satu hal yakni memiliki anak bukanlah bagian penting dalam mencapai kebahagiaan hidup.
 
Victoria Tunggono (37), seorang novelis dan penulis buku "Childfree and Happy" menceritakan bagaimana awal mula ia membuat buku tersebut. Kepada VOA Indonesia, ia mengatakan bahwa buku yang ditulisnya berdasarkan hasil wawancaranya dengan belasan anggota sebuah komunitas bebas anak (freechild community) di Facebook dimana ia pun menjadi anggotanya.
 
Berdasarkan pengamatan termasuk juga wawancaranya, Victoria mengungkapkan banyak orang memilih untuk tidak memiliki anak karena pengalaman buruk mereka di masa kecil terkait hubungan dengan orang tua. Mereka menganggap bahwa kehadiran anak justru menjadi sumber masalah dan bukan pemecah masalah. Di buku ini pun dibahas berbagai alasan untuk tidak memiliki anak, termasuk masalah keuangan dan mental, kapasitas fisik, keberatan filosofis dan alasan lingkungan.
 
Tidak aneh memang jika di era sistem kapitalisme sekarang, nilai-nilai keluarga tidak dianggap penting. Memiliki anak dianggap sebagai beban dan sumber masalah, baik untuk ekonomi keluarga maupun mental para orang tua.
 
Sikap atau nilai-nilai keluarga tersebut dibangun, dibentuk dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti faktor lingkungan, sosial dan pemerintah sangat berpengaruh dalam membentuk nilai-nilai keluarga.
 
Salah satu sistem politik selalu berhubungan dengan masalah-masalah struktur, hukum dan sikap keluarga. Dalam hal ini, abainya negara dalam menjamin terhadap kebutuhan makanan, tempat tinggal dan pakaian bagi setiap keluarga menciptakan stigma buruk tentang anak di dalam benak masyarakat. Sehingga masyarakat tidak yakin bahwa setiap manusia yang lahir ke dunia ini sudah membawa rezekinya masing-masing.
 
Abainya negara dalam mengedukasi masyarakat akan hukum-hukum tentang pernikahan dan perceraian, serta tanggung jawab anggota keluarga, membuat masyarakat enggan untuk mempersiapkan diri untuk menjadi orang tua. Dimana masyarakat pun tidak yakin bahwa inner child dan luka yang tertinggal bisa disembuhkan.
 
Begitulah bagaimana negara dengan sistem kapitalisme membuat masyarakatnya mengalami penyakit individualistik, sehingga abai terhadap masalah pelestarian ras manusia. Kebahagiaan diukur hanya dilihat dari banyaknya materi dan kesenangan fisik. Jika hal ini terus dibiarkan, maka yang akan terjadi adalah merosotnya jumlah populasi penduduk bahkan tidak menutup kemungkinan manusia akan mengalami kepunahan.
 
Seperti yang terjadi kepada negara-negara yang dijuluki "Keajaiban Asia Timur". Jepang misalnya, Universitas Tohoku merilis sebuah studi pada tahun 2012, bahwa penduduk Negeri Sakura akan punah seribu tahun mendatang, dengan anak terakhir yang lahir pada tahun 3011. Selain itu, juga diprediksi sekitar 39,6 persen penduduk Jepang akan pensiun pada tahun 2050.
 
Badan Penelitian Korea Selatan (NARS) merilis sebuah penelitian bahwa penduduk Korea Selatan berpotensi mengalami kepunahan lantaran angka kelahiran yang merosot drastis ke angka terendah yakni pada angka 1,19 tiap perempuan. Simulasi penelitian menunjukkan populasi penduduk akan menyusut dari 50 juta pada saat ini menjadi 40 juta pada 2056 dan 10 juta saja pada 2136. Kemudian orang Korea Selatan terakhir yang tersisa akan hidup sampai 2750. Hingga akhirnya bangsa Korea Selatan punah.
 
Taiwan dan Singapura pun tengah berjuang keras membiayai beban tunjangan sosial untuk penduduk berusia senja yang jumlahnya kian banyak, bahkan lebih banyak dari penduduk berusia muda.
 
Sistem kapitalisme telah menunjukkan kerapuhannya dalam menjaga pelestarian ras manusia. Pendidikan Barat yang dianggap unggul dalam segala hal faktanya telah membawa umat manusia ke dalam kemerosotan peradaban bahkan menyeret manusia ke dalam jurang kepunahan.
 
Lalu, bagaimana pandangan Islam dalam menanggapi fenomena ini?
 
Pemerintahan Islam Melindungi Nilai-nilai Keluarga
 
Seluruh masyarakat perlu mengetahui beberapa pengetahuan dasar tentang aturan-aturan berkeluarga. Untuk dapat membangun sikap-sikap yang benar, pertama-tama masyarakat harus memiliki pengetahuan tentang hukum keluarga dalam Islam.
 
Sistem pendidikan Islam memainkan peranan penting dalam menanamkan pemahaman dasar ini ke tengah-tengah masyarakat. Dari sinilah, diharapkan dapat tercipta suatu lingkungan dimana setiap individu merasakan kebutuhan dan keinginan untuk mempelajari tugas-tugasnya terhadap keluarga.
 
Namun, hal tersebut tidak akan tercipta tanpa peranan Negara Islam dengan syariat Islamnya dalam mengatur roda pemerintahan. Dalam hal ini negara bertanggungjawab penuh dalam menyiapkan generasi yang unggul, yang dimulai dari pintu keluarga.
 
Negara Islam akan menyiapkan media, sistem pendidikan, para imam dan masjid, lengkap dengan anggaran dananya untuk melaksanakan tugas-tugas menciptakan lingkungan yang tepat.
 
Seperti contohnya dalam suatu riwayat yang terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, dimana Umar bin Khattab melakukan blusukan dengan menyamar menjadi orang biasa. Dalam blusukannya, Umar bin Khattab mendapati seorang anak yang terus menangis, sampai Umar bin Khattab pun menegur ibunya.
 
"Kenapa kamu tidak menyusuinya?" tanya Umar
"Usianya belum dua tahun, tapi aku sudah menyapihnya. Karena Khalifah Umar hanya akan memberikan tunjangan kepada anak yang sudah disapih" tutur ibu anak itu.
 
Mendengar jawaban ibu anak itu, Umar bin Khattab beristighfar dan mengakui kesalahannya. "Umar telah berbuat dosa kepada anak-anak ini", ujarnya dalam hati. Dari kejadian itu, Umar bin Khattab langsung mengumumkan bahwa Negara Islam akan menghapus kebijakan sebelumnya. Umar bin Khattab berjanji, bahwa semua anak akan dijamin kehidupannya oleh Negara Islam tanpa harus menunggu mereka disapih terlebih dahulu.
 
Tinta emas sejarah telah menunjukkan bahwa para Khalifah ini tidak hanya menjadi orang-orang yang baik, yang menjadi tokoh-tokoh terkemuka dalam sebuah sistem yang baik, pada masa-masa yang baik dari sejarah kaum muslimin. Namun, mereka adalah pelaksana hukum Allah SWT dan teladan bagi generasi-generasi sesudahnya. Mereka memerintah dengan cara yang adil sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
 
Inilah sistem yang dibutuhkan oleh negara di seluruh dunia, sistem yang baik yang dengannya akan melahirkan peradaban yang gemilang. Sistem yang akan membuat masyarakat tidak takut menikah dan tidak takut punya anak. Sistem yang akan membentuk pemahaman masyarakat bahwa kebahagiaan hanya dapat diraih dengan cara menggapai ridha Allah SWT.
 
Wallahu a'lam bish-shawab.
Posting Komentar

Back to Top