Oleh : Ummu Syam (Aktivis Muslimah Majalengka)
Pandemi Covid-19 belum berakhir, tapi kebijakan pemerintah RI di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo semakin menggigit. Dimulai dari menaikkan listrik sampai pada hari senin lalu (5/10/2020) DPR mengesahkan UU Omnibus Law Cipta Kerja.
UU Omnibus Law Cipta Kerja ini akan meringkas 1.244 pasal dari 79 undang-undang untuk menarik investasi asing. Undang-undang ini dimaksudkan untuk merampingkan regulasi dari segi jumlah, dan menyederhanakan peraturan agar lebih tepat sasaran. (Kompas, 6/8/2020)
Jauh panggang dari api, faktanya UU Cipta Kerja ini dijadikan sebagai alat untuk merengkuh para buruh namun di sisi lain mengokohkan neoliberalisme dan neo imperialisme asing dan aseng di bumi pertiwi ini.
Neoliberalisme bertujuan mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan, dengan pembenaran mengacu pada kebebasan. Seperti pada contoh kasus upah pekerja, dalam pemahaman neoliberalisme pemerintah tidak berhak ikut campur dalam penentuan gaji pekerja atau dalam masalah-masalah tenaga kerja sepenuhnya ini urusan antara si pengusaha, pemilik modal dan si pekerja. Pendorong utama kembalinya kekuatan kekuasaan pasar adalah privatisasi aktivitas-aktivitas ekonomi, terlebih pada usaha-usaha industri yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah seperti BUMN.
Akibat dari privatisasi ini, BUMN kehilangan haknya untuk mengatur sektor publik tersebut, hal ini terjadi dikarenakan semua sektor sudah diambil alih oleh asing. Dan yang paling parah dari privatisasi ini adalah pengambil alihannya dikuatkan oleh perundang-undangan yang dibuat oleh anggota parlemen yang notabene mereka dipilih oleh rakyat, seperti lahirnya UU liberal, yang menandakan betapa lembeknya penguasa pada para kekuatan asing. Jadi dapat disimpulkan dalam demokrasi tidak ada kepentingan rakyat (kedaulatan di tangan rakyat), melainkan kepentingan para pemilik modal.
Sedangkan neo imperialisme adalah penjajahan model baru yang ditempuh oleh negara-negara asing (kapitalis/pemilik modal) untuk menguasai dan menghisap kekayaan negara lain. Dalam penjajahan model lama dikenal 3G (Gold, Gospel dan Glory), yang dimaksud Gold adalah kepentingan penguasaan sumber daya ekonomi, Gospel adalah penjajahan berdasarkan kepentingan kristiani dan Glory adalah penjajahan berdasarkan kepentingan politik. Adapun penjajahan gaya baru saat ini (neo imperialisme), kepentingan dalam mensyiarkan agama kristiani tidaklah begitu menonjol, meskipun faktanya masih banyak usaha yang dilakukan untuk mengkristenisasi kaum muslim yakni dengan cara pernikahan beda agama, memberikan bantuan pada rakyat yang kurang mampu, yang sangat nyata saat ini adalah penyebaran paham sekulerisme, demokrasi, kapitalisme dan liberalisme.
Neo liberalisme itu begitu terasa dalam UU Cipta Kerja ini, karena beberapa klausul dari UU Cipta Kerja ini begitu menindas para buruh, seperti pesangon tanpa kepastian, perluasan status kontrak dan outsourcing, semakin mudahnya perusahaan melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan upah sektoral (UMSK), serta aturan pengupahan berdasarkan jam kerja, hingga hilangnya jaminan kesehatan dan pensiun.
Kebijakan zalim itulah yang membuat masyarakat utamanya dari kalangan mahasiswa bergerak, melakukan aksi demonstrasi untuk melakukan penolakan terhadap pengesahan UU Cipta Kerja ini. Sedikitnya 5000 mahasiswa turun ke jalan, berjuang untuk menyuarakan aspirasi mereka.
Sayangnya, apa yang dilakukan oleh para mahasiswa tidak mendapatkan dukungan dari Menteri Pendidikan RI, Nadiem Makarim. Kemendikbud telah mengeluarkan surat edaran melarang mahasiswa melakukan demonstrasi untuk menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja, termuat dalam surat nomor 1035/E/KM/2020.
"Mengimbau para mahasiswa/i untuk tidak turut serta dalam kegiatan demonstrasi/unjuk rasa/ penyampaian aspirasi yang dapat membahayakan keselamatan, dan kesehatan para mahasiswa/i di masa pandemi ini," bunyi surat yang ditandatangani Dirjen Pendidikan Anak dan Pendidikan Tinggi Kemendikbud Nizam, Jumat, 9 Oktober 2020.
Bahkan, para dosen diimbau untuk tidak memprovokasi mahasiswa agar menolak UU tersebut. Selain itu, Kemendikbud juga meminta pimpinan Perguruan Tinggi untuk melanjutkan pembelajaran jarak jauh dan memastikan para mahasiswanya benar-benar belajar di rumah masing-masing. Perguruan tinggi pun diminta untuk dapat memastikan kehadiran mahasiswa dalam kuliah daring. Tidak hanya itu, pihak kampus juga diminta untuk ikut mensosialisasikan Omnibus Law UU Cipta kerja. (Pikiran
Rakyat-Tasikmalaya.com, 11/10/2020)
Apa yang dilakukan oleh Kemendikbud tersebut sejatinya telah merampas hak asasi mahasiswa untuk menyampaikan aspirasinya sebagaimana tertuang dalam UU 1945 Pasal 28E ayat (3), bahwa "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang".
Sejumlah kalangan mengatakan bahwa sikap Kemendikbud tersebut justru memberikan sinyal bahwa Kemendikbud alergi terhadap sikap kritis mahasiswa. Sebaliknya, apa yang dilakukan mahasiswa merupakan wujud kebebasan akademik, mahasiswa sesungguhnya sedang menunaikan tugasnya sebagai kelompok intelektual yang tak berjarak dengan rakyat. Mengikuti aksi demonstrasi adalah bagian dari laboratorium sosial mahasiswa sebagai agen perubahan. Menjauhkan mahasiswa dari rakyat, sama saja menjauhkan ikan dari lautan luas.
Dalam hal ini pula, kampus berperan memfasilitasi mahasiswa agar menjadi intelektual yang dapat membela situasi rakyat. Hal itulah yang sedang diupayakan mahasiswa lewat berbagai aksi demonstrasi. Lebih lanjut, instruksi Kemendikbud justru menjadi kontra produktif dengan program Kampus Merdeka yang dibanggakan Mendikbud Nadiem Makarim.
Polemik pada UU Cipta Kerja juga mencerminkan bahwa dalam pembahasannya, pemerintah dan DPR tidak membuka banyak ruang dialog dan partisipasi masyarakat dengan baik. Maka, seharusnya Kemendikbud tidak melarang mahasiswa untuk melakukan demonstrasi.
Tidak hanya itu, mahasiswa yang mengikuti demonstrasi pun diancam mengenai nilai akademis mereka dan kehilangan kesempatan kerja. Pemerintah pun mengklaim mengetahui siapa behind (dalang) yang menggerakkan dan mensponsori demo itu.
Sesungguhnya behind (dalang) di balik demontrasi itu adalah pemerintah sendiri. Tidak ada asap kalau tidak ada api, seandainya pemerintah tidak membuat kebijakan yang merugikan rakyat sudah pasti rakyat tidak akan melakukan demonstrasi.
Begitulah demokrasi, kebebasan berpendapat yang seharusnya menjadi hak setiap orang justru dirampas sendiri oleh para pemangku jabatan di dalam pemerintahan yang notabene merekalah yang membuat dan mengesahkan undang-undang. Ancaman-ancaman terhadap mahasiswa menunjukkan tiadanya independensi mahasiswa dalam menyuarakan perubahan bangsa. Padahal mahasiswa lah yang menentukan hitam-putih masa depan bangsa.
Tak aneh memang jika di dalam sistem kapitalisme, intelektual muda (mahasiswa) dikerdilkan potensinya untuk memikirkan kemaslahatan masyarakat. Gerakan perubahannya dimandulkan dan hanya dimanfaatkan suaranya sekedar untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang berkepentingan. Hal ini berbanding terbalik ketika syariat Islam yang dijadikan sistem untuk mengatur kehidupan ini.
Jika kita berbicara tentang mahasiswa berarti kita sedang berbicara tentang pemuda. Bagi Islam, pemuda (mahasiswa) adalah kekuatan hebat ketika bersatu untuk mencapai tujuan tertentu dengan serius. Itulah mengapa sejak awal para musuh Islam fokus untuk meluruhkan dan melenyapkan pemuda, menebarkan rasa jemu dan kelemahan dalam eksistensinya, agar tidak pernah bersatu untuk mencapai tujuan tertentu dengan serius suatu hari nanti. Dan itulah yang sekarang sedang terjadi, para musuh Islam yang ingin melenyapkan peran pemuda bukan hanya dari kalangan orang-orang kafir tapi juga dari kalangan muslim yang memiliki wewenang di pemerintahan.
Menurut DR. Khalid Asy Syantut, pemuda adalah penopang masyarakat, dan pondasi bangunan umat. Untuk itu, para da'i dan pendidik di era kekhilafahan lebih menaruh perhatian terhadap anak-anak dan pemuda dibandingkan orang tua. Apa rahasianya?
Pertama, pemuda lebih dekat pada fitrah.
Fitrah adalah Islam, dimana setiap manusia diciptakan Allah sesuai dengan fitrahnya. Penyimpangan fitrah di kalangan pemuda tidak sampai pada batas seperti yang dialami orang-orang dewasa yang jauh dari ilmu, yang pemikirannya telah dikotori oleh musuh-musuh Islam, hingga menyimpang dari fitrah. Hati kaum muda lebih lembut. Saat Allah mengutus Nabi Muhammad Saw membawa kebenaran untuk menyampaikan berita gembira dan peringatan, para pemuda memberikan pembelaan sementara kaum tua menentangnya.
Kedua, para pemuda adalah representasi mayoritas umat. Karena jumlah penduduk kian meningkat, kaum muda membentuk piramida sosial dengan landasan anak-anak, sementara yang berada di puncak adalah para orang tua. Itulah sebab, perhatian terhadap kaum muda adalah perhatian mayoritas umat dari sisi kuantitas.
Ketiga, para pemuda adalah generasi masa depan sekaligus ibu bagi generasi berikutnya. Inilah ikon umat.
Untuk mengetahui esensi dan hakikat umat, jangan tanyakan seberapa banyak simpanan emas dan uangnya, tapi perhatikan kaum mudanya. Jika Anda melihatnya sebagai pemuda yang taat beragama, berarti itulah umat mulia dan kuat bangunannya. Namun, jika Anda melihatnya sebagai pemuda tidak bermoral, sibuk dengan hal-hal tak berguna dan jatuh dalam kehinaan, itulah umat yang lemah dan terpecah serta akan segera runtuh di hadapan musuh.
Perhatian terhadap pemudi pun tidak kalah pentingnya dengan pemuda, mengingat mereka adalah pencetak generasi pendatang. Para pemuda adalah generasi selanjutnya, dan para pemudi adalah pencetak generasi mendatang. Karena itu, perhatian terhadap para pemuda berarti perhatian terhadap dua generasi umat selanjutnya.
Perhatian terhadap para pemuda meliputi ruhani, perasaan, akal dan fisik. Negara harus lebih memerhatikan pemuda, lebih dari perhatian terhadap sumber-sumber alam, industri dan pertanian, mengingat manusia adalah sumber kekayaan umat terbesar.
Keempat, pemuda adalah perisai umat untuk menangkal serangan musuh, jihad wajib hukumnya bagi kaum muslimin demi tersebarnya risalah dan membela tanah Islam.
Allah SWT berfirman :
وَقَاتِلُوۡهُمۡ حَتّٰى لَا تَكُوۡنَ فِتۡنَةٌ وَّيَكُوۡنَ الدِّيۡنُ كُلُّهٗ
لِلّٰهِۚ
"Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah" (QS. Al-Anfal (8): 39)
Jihad akan senantiasa berlangsung hingga akhir zaman. Siapa yang lebih berhak berjihad kalau bukan para pemuda?
Para sahabat Rasulullah Saw saling berlomba untuk berjihad, entah itu dari kalangan tua maupun muda, seperti pendapat sebagian kalangan mufasir terhadap firman Allah SWT :
اِنْفِرُوۡا خِفَافًا وَّثِقَالًا وَّجَاهِدُوۡا بِاَمۡوَالِكُمۡ وَاَنۡفُسِكُمۡ
فِىۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ ؕ
"Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah" (QS. At-Taubah (9) : 41)
Maka tidak heran, jika Daulah Khilafah Islam lebih memilih mujahidin dari kalangan pemuda. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya :
1. Kaum muda secara fisik lebih kuat untuk menanggung beban berat peperangan.
2. Tanggung jawab kaum muda terhadap yang lain lebih sedikit jika dibanding dengan kaum tua. Mereka belum memikul beban tanggung jawab istri dan anak.
3. Kaum muda lebih bersemangat dan emosional. Semangat dan kobaran amarah merupakan syarat penting dalam peperangan.
4. Fase pemuda menyatukan antara aktif dan kesadaran. Masa kanak-kanak biasanya bersifat aktif tanpa kesadaran. Memasuki fase dewasa mereka memiliki kesadaran yang lebih baik, bijak dan pengalaman, namun minim keaktifan. Berbeda dengan fase pemuda yang menyatukan antara vitalitas, kesadaran dan pengetahuan dengan kapasitas yang cukup besar.
5. Para pemuda adalah fase pertumbuhan. Ketika anak-anak hanya fokus terhadap diri sendiri, maka pemuda mulai terlihat memiliki perhatian terhadap yang lain. Pemuda mulai memperhatikan masyarakat dan anggotanya, berusaha mencari kelompok atau perkumpulan yang menempuh jalan terbaik demi memperbaiki manusia.
Dari sinilah, para pemuda dengan dorongan sendiri berusaha bergabung dengan pasukan jihad, dan berusaha menguasai disiplin ilmu. Mereka sadar akan potensi mereka.
Perasaan kaum muda dalam hal ini, sampai pada tingkat semangat on fire atau titik pengorbanan jiwa demi kebenaran yang dianut. Untuk itulah Negara Khilafah Islamiyah sangat memperhatikan para pemuda, memanfaatkan perasaan dan potensinya demi kejayaan Islam.
Tak terhitung sudah pemuda yang dimiliki oleh Daulah Khilafah Islamiyah. Merekalah tonggak peradaban, agen perubahan yang melalui tangan merekalah Islam berjaya 14 abad lamanya.
Sebut saja ada Muhammad Al-Fatih yang menaklukkan Konstantinopel pada usia 21 tahun, Thariq bin Ziyad yang menaklukkan Andalusia, Salahuddin Al-Ayubi yang membebaskan Palestina dari tentara Salib.
Mush'ab Ibn Umair yang menjadi delegasi dakwah ke Madinah, Imam syafi'i yang hafal Al-qur'an di usia 7 tahun dan mampu mengeluarkan fatwa pada usia 15 tahun. Salman Al-Farisi, sang pencetus ide untuk menggali parit pada saat Perang Khandaq.
Dari kalangan pemudi ada Aisyah ra yang dijuluki Ummul Mukminin, Maryam Al-Asturlabi seorang astronom dan pembuat astrolob, Fatimah Al-Fihri pendiri Universitas Al-Qarawiyyin, dan masih banyak lagi.
Dari sini kita bisa melihat bagaimana sistem yang diterapkan oleh negara memiliki andil besar dalam membentuk karakter para pemuda, dalam menentukan masa depan mereka dan masa depan bangsa. Dari sini pula kita bisa melihat perbedaan mencolok pemuda yang hidup di dalam naungan ideologi Kapitalisme dan pemuda yang hidup di dalam naungan ideologi Islam.
Dengan melarang para mahasiswa melakukan aksi demonstrasi untuk menolak pengesahan UU Omnibus Law, sesungguhnya pemerintah sudah lupa dengan pidato Bung Karno, "Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia!".
Jika kita merenung dan merefleksikan pidato Bung Karno, maka sejatinya jumlah besar saja tidaklah cukup untuk bisa membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan diperhitungkan di dunia, namun juga pemuda harus memiliki visi dan misi untuk memajukan bangsa. Selain jumlah, memiliki visi dan misi, sistem yang diterapkan pun harus sistem Islam dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah. Karena Khilafah lah yang akan menghimpun seluruh kekuatan sehingga mahasiswa menyadari akan potensinya sebagai tonggak peradaban.
Wallahu a'lam bish-shawab.